Minggu, 15 Februari 2009

Bengkulu Selatan Pilkada Ulang

Pemenang Pernah Dipenjara, Pilkada Bengkulu Selatan Batal Demi Hukum. Calon Bupati yang memenangi pilkada Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud terbukti pernah dipenjara tujuh tahun di LP Cipinang. Padahal, UU Pemda melarang orang yang pernah dipidana dengan ancaman hukuman lima tahun penjara menjadi Bupati.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD, Kamis (8/1) mungkin tak akan bisa dilupakan oleh Dirwan Mahmud seumur hidup. Kemenangan Dirwan dalam Pilkada Kabupaten Bengkulu Selatan yang sudah di depan mata malah dibatalkan MK. “Menyatakan batal demi hukum (void ab initio) Pemilukada Kabupaten Bengkulu Selatan untuk periode 2008-2013,” ujar Mahfud saat membaca amar putusan.

Tak hanya itu, MK juga memerintahkan agar KPU Bengkulu Selatan menggelar pemungutan suara ulang untuk setiap pasangan calon. “Kecuali pasangan calon nomor urut 7 (Dirwan Mahmud dan Hartawan),” tegas majelis. Pemungutan suara ulang selambat-lambatnya harus diselenggarakan satu tahun sejak putusan ini diucapkan.

Sikap tegas MK diambil karena Dirwan sebenarnya tak memenuhi syarat untuk maju dalam pilkada. Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, Dirwan pernah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang selama tujuh tahun. Di LP Cipinang, Dirwan menggunakan nama samaran Roy Irawan bin Mahmud Amran.

Pembuktian Dirwan adalah orang yang sama dengan Roy Irawan sempat berlangsung alot. Pada sidang sebelumnya, tiga orang saksi yang mengaku pernah satu penjara dengan Roy alias Dirwan dihadirkan. Selain itu, empat petugas LP Cipinang, tempat Dirwan bermukim dari 1985 hingga 1992, juga ikut memberikan kesaksian.

MK menilai keikutsertaan Dirwan pada pilkada Bengkulu Selatan tidak sah. Pasal 58 huruf f UU Pemda menyebutkan 'Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga Negara Republik yang memenuhi syarat: tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih'.

“Pihak terkait H. Dirwan Mahmud terbukti tidak memenuhi syarat sejak awal untuk menjadi pasangan calon dalam Pemilukada Kabupaten Bengkulu Selatan karena terbukti secara nyata pernah menjalani hukumannya karena delik pembunuhan, yang diancam dengan hukuman lebih dari 5 (lima) tahun,” jelas Mahfud saat membaca konklusi putusan.

Lolosnya Dirwan sebagai calon bupati, menurut MK, merupakan kesalahan penyelenggara pilkada. KPU Bengkulu Selatan dan Panwaslu Kabupaten Bengkulu Selatan telah melalaikan tugas karena tidak pernah memproses secara sungguh-sungguh laporan yang diterima tentang latar belakang Dirwan. “Kelalain tersebut menyebabkan seharusnya pihak terkait (Dirwan) tidak berhak ikut, dan karenanya keikutsertaannya sejak semula adalah batal demi hukum atau void ab initio,” ujar Mahfud.

Kuasa Hukum KPU Bengkulu Selatan Usin Abdisyah Putra Sembiring yang kecewa dengan putusan ini menolak bila KPU Bengkulu Selatan dianggap lalai. “KPU Bengkulu Selatan telah melakukan verifikasi,” tuturnya. Usin mengakui verifikasi memang dilakukan di Pengadilan Negeri domisili Dirwan. Padahal, vonis yang dijatuhkan kepada Dirwan berasal dari Pengadilan Negeri Jakarta Timur tempat tindak pidana berlangsung.

Sementara itu, Kuasa Hukum Dirwan, Arteria Dahlan menilai putusan ini telah menciderai nilai-nilai demokrasi. Dengan perintah pilkada ulang ini, lanjutnya, berarti MK telah menafikan suara rakyat. 'Suara Tuhan' itu telah dibatalkan oleh MK. Apalagi, isu Dirwan merupakan mantan napi sudah beredar sejak awal pencalonan. “Tapi buktinya masyarakat tetap memilih Dirwan,” tuturnya.

Pendapat Berbeda
Putusan Pilkada Bengkulu Selatan ini tak diambil dengan suara bulat. Hakim Konstitusi Achmad Sodiki menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda. Sodiki meminta agar pasal 58 huruf f itu tidak ditafsirkan secara letterlijk. Bila ditafsirkan seperti itu, maka seseorang yang pernah dipidana lebih dari lima tahun telah dibuat 'cacat' seumur hidup dan tidak mungkin ada kesempatan menduduki jabatan politik lagi, seperti kepala daerah.

Menurut Sodiki, hukum mempunyai dua orientasi, yaitu masa lalu dan masa yang akan datang. Dengan demikian, lanjutnya, masa lalu terpidana yang gelap harus memungkinkan dia mempunyai masa depan yang terang. “Karena masa depan yang terang, yang cerah, dan yang membahagiakan adalah hak setiap manusia,” tuturnya.

“Pasal 58 huruf f UU 32/2004 seyogianya ditinjau kembali kegunaannya atau ditafsirkan secara sedemikian rupa yang mencerminkan kearifan (wisdom) untuk memberikan masa depan narapidana yang lebih cerah dan manusiawi,” ujar Sodiki.

Putusan MK ini memang bersifat final dan mengikat. Namun, Usin masih melihat celah setelah mendengarkan dissenting opinion hakim Achmad Sodiki. Usin menyarankan agar pihak Dirwan mengajukan uji materi Pasal 58 huruf f itu ke MK. “Jeda waktu satu tahun ini bisa dimanfaatkan untuk melakukan upaya hukum lain,” tutur advokat yang berasal dari Perkumpulan Kantor Bantuan Hukum Bengkulu (PKBHB) itu.

Berdasarkan catatan hukumonline, syarat belum pernah dipidana dengan ancaman hukuman lima tahun penjara atau lebih untuk menduduki jabatan publik dalam sejumlah UU memang pernah diuji di MK. Kala itu, Budiman Sudjatmiko dan Henry Yosodiningrat mempersoalkan lima UU yang memuat ketentuan itu. (sumber hukumonline)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar